Seandainya dikatakan, sebagian besar umat beragama saa
ini sudah meninggalkan agamanya, nyaris dipastikan atau kemungkinan besar
mereka, kendati tidak semuanya, akan marah besar. Seara sepintas pernyataan
semacam itu bisa dianggap provokatif. Namiun jika milhat realitas yang ada,
kita akan menyaksikan sesautau yang bisa membenarkan ungkapan tersbut. Hal ini
dapat dilacak dari keberadaan umat beragama yang menjalani kehdiupan merkea
alam beragam paradoks. Misalnya dalam perspektif Islam, umat Islam merupakan
wkail Tuhan di alam dunia ini yang dibenri amanah untuk “memakmurkan”
kehidupan. Merkea ditugaskan mengelola dan mengolah alam, memabngun, serta
melestarikan kehidupan menuju kesejahteraan paripurna, dan holistik bagi
segenap penghuninya. Dalam perspektif yang lebih luas, semua penganut ama
berdasrkan jaaran agama masing-masing, d
untut untuk melabihkan jaran agmaa mereka yang pada prinsipnya bersifat moral.
Moralitas luhur harus menjadi pijakan kokoh merkea dalam merajut dan
mengmebangkan kehiudpan dalam semua aspeknya.
Menyikapi tuntutan agama tersbut, mereka tampaknya menyanggupi untuk melaksnakannya yang diejawantahkan melalui ritual dan seremonial keagamaan yang meka laksanakn dari saat ke saat. Namun pada sisi ini paradoks itu mulai muncul. Mereka tekun menjalankan ritual dan setemonial keagamaan, tapi pada saat yang sama merkea juga rajin melakukan hal-hal yang berntentangan dnegan etika dan moral. Sebagian merkea melakukan kebeatan yang pertentangannya mungkin “hanya” smar dan tipis dengan nilai-nilai agama; dan sebagaian yagn lain justru menebarkan munkarat yang secara tegas berdiri di ametral dengna etik dan akhlak agama. Pada umumnya, tidnakan=-tndakan amoral itu berada lama tataran ranah publik, atau bersifat dosa sosial.
Keterkelupasan keberagamaan dari nilai meoral agama tersebut tmapka jelas ketika gama sekadar dijadikan alat legitimasi untuk kepentingan subyektif yang sempit dan pragmatis. Politik merupakan ranah yang begitu sering memerulukan gama untuk dibiaskan menjadi pembenar bagi syahwat-syahwat kekuasaan yang mengeram di balik politik tersebut. Kondisi ini terpapar secara kasat mata dari sikap dan perilaku (maoritas?) kaum politisi yang menggunakan simbol-simbol agama untuk sekadar meraih atau memperteguh kekuasaan bagi mereka dan kelompoknya. Seiring itu, dengan penggunaan atribut-atribut keagamaan itu, mereka melakukan othering terhadap sainagan mereka, baik yang seagama, apalagi yang berbeda agama. Dalam kondisi ini, tuduhan dan fitnah yang tentunya berseberangan dengan nilai agama apaun, bahkan dengan nilai kemanusiaan universal menjadi menyatu dengan simbol agama yang mereka gunakan. Ironisnya, kendati eralitas menunjukkan kesia-siaan memperalat agama dalam dunia politik, para politisi, penguasa atau lainnya tidak jera-jera, bahkan kian menguat dari saat ke saat, untuk melakukannya. Manakala mereka berkuasa,, mereka terus menggerogoti nilai-nilai agama. Mereka tetap membiarkan –implisit atau eksplisit- perilaku bejar yang mengotori keidupan , dari koerupsi, ketidak-adilan, hingga konflik-berdarah. Bhakan bisa-bisa merkea termasuk pelaku atau punyai kaitan dengan perilaku biadab itu.
Dalam konteks itu, buku yang berasal dari kumpulan tulisan ini dipubliksikan dan dihadirkan keruang publik. Melalui pembacaan yang kritis, karya ini diharapkan dapat memberikan ruang yang cukup ntuk mendiskusikan hal-hal yang terkati dnegan keberagamaan yang teransformatif; keberagamaan yang dapat menyebarkan dan membumikan nilai-nilai luhur agama.
Judul buku :Agama Tanpa Penganut
Pengarang : Abd. A’la
Penerbit : Kanisius
Cetakan : Lima, 2013
Tebal : 158 Hlm, 14,5x21 cm
*Sumber Foto: http://www.kanisiusmedia.com/uploads/cover/2/072093-2.jpg
*Sumber Foto: http://www.kanisiusmedia.com/uploads/cover/2/072093-2.jpg
0 comments :
Post a Comment
Terima kasih telah mengunjungi dan berkomentar bijak di situs ini.