Pendahuluan
Permasalahan ketuhanan merupakan permasalahan besar yang muncul
sejak manusia mulai menggunakan nalar berfikirnya secara mendalam.[1]
Dikatakan permasalahan besar dikarenakan banyak dari kalangan filosof dan
teolog yang memiliki perhatian dan perbedaan pandangan secara signifikan.
Perbincangannya-pun merupakan diskusi yang usianya seumur keberadaan manusia.
Diduga kuat pada diri manusia memang memiliki bakat ber-Tuhan dan potensi untuk
beragama (sensus religious).[2]
Di dunia Barat
yang mayoritas Kristen, setelah masa pencerahan (renaissance) yang
ditandai dengan bangkitanya rasionalisme dan empirisme, bermunculan para
pendobrak bahkan penghujat Tuhan. Di antara tokoh tersebut adalah Abraham
Maslow1908-1970).[3]
Alasan pemilihan Filsafat Abraham
Maslow sebagai tema tulisan ini adalah ketertarikan untuk mengetahui lebih
banyak tentang Abraham Maslow dan pemikirannya. Terutama adalah untuk
mengetahui tentang sejarah kehidupan
Maslow. Bagaimana dia dapat memiliki pemikiran-pemikiran yang menolak
filosof-filosof sebelum dirinya dan mengapa dia memliki penolakan yang seakan
radikal terhadap Tuhan. Makalah yang sederhana ini akan mencoba menjawab
pertanyaan tersebut diatas, dengan maksud agar nantinya dapat diketahui
bagaimana pemikiran Maslow yang berakhir pada kesimpulan bahwa manusia adalah
sama dengan tuhan apabila telah sampai pada pengalaman puncak.
Sekilas Biografi Abraham Maslow
Tokoh dengan nama lengkap Abraham Harold Maslow, lahir pada
tanggal 1 April 1908 di Brooklyn, New York, sebagai anak sulung dari tujuh orang
bersaudara. Kedua orangtuanya adalah penganut Yahudi tidak berpendidikan yang
berimigrasi dari Rusia. Karena sangat berharap anak-anaknya berhasil di dunia
baru, kedua orangtuanya memaksa Maslow dan saudara-saudaranya belajar keras
agar meraih keberhasilan di bidang akademik. Tidak heran jika semasa
kanak-kanak dan remaja, Maslow menjadi anak penyendiri dan menghabiskan
hari-harinya dengan buku.
Demi menuruti keinginan orangtuanya, pertama-tama Maslow belajar
hukum di City College of New York (CCNY). Setelah tiga semester belajar di
sana, dia pindah ke Cornell lalu kembali ke CCNY. Dia menikahi sepupunya,
Bertha Goodman, dan pernikahan ini bertentangan dengan keinginan orangtuanya.
Maslow dan Bertha dikaruniai dua orang puteri.
Dia dan Bertha kemudian pindah ke Wisconsin agar bisa masuk ke
University of Wisconsin. Di sinilah ketertarikannya pada bidang psikologis
mulai tumbuh, sehingga perjalanan akademisnya berubah secara dramatis. Setahun
setelah lulus, dia kembali ke New York untuk bekerja dengan E. L. Thorndike di
Coolumbia dimana dia melakukan penelitian tentang seksualitas manusia.
Dia mulai mengajar full
time di Brooklyn
College. Dalam periode inilah dia bergaul dengan beberapa pemikir Eropa yang
berimigrasi ke AS, khususnya ke Brooklyn, akibat perang yang berkecamuk di
sana. Di antara pemikir tersebut adalah Adler, Fromm, Horney dan
psikolog-psikolog Gestalt dan Freudian.
Tahun 1951, Maslow menjabat ketua departemen psikologi di
Brandels selama 10 tahun. Di sinilah dia bertemu dengan Kurt dan mulai menulis
karya-karya teoretisnya sendiri. Di sini, dia juga mulai mengembangkan konsep
psikologi humanistik – konsep yang baginya jauh lebih penting ketimbang
usaha-usaha teoretisnya.
Dia menghabiskan masa pensiunnya di California, sampai akhirnya
dia mengalami serangan jantung dan meninggal pada tanggal 8 Juni 1970.[4]
Pandangan
Tentang Ketuhanan.
Barat kesulitan untuk mendefenisikan
apa Tuhan itu. Keimanan Barat hanya berdasarkan kepada keyakinan buta yang
harus di terima begitu saja. Ada yang berpedoman kepada Tertulian yang
mengatakan “credo quia absurdum”, atau “saya percaya karena dogma agama tidak
masuk akal”.[5]
Dalam bentuk yang lain orang di
tuntut untuk mempercayai wahyu yang kemudian menjadi tahu akan apa yang
diyakini. Sayangnya, wahyu tersebut tidak bernuansa pengetahuan, tidak
epistemologis. Wahyu tidak dapat berirama dengan akal. Sedangkan akal dipaksa
untuk mempercayai berbagai hal yang tidak masuk akal dalam wahyu. Pandangan
seperti ini diyakini merujuk kepada St. Anselmus yang mengatakan “credo ut
Inteligam”, atau saya percaya karena saya paham.[6]
Pandangan yang kedua ini masih
memberikan ruang bagi akal manusia untuk berkreasi. Akal masih bisa menganalisa
berbagai realitas demi mencapai kebenaran. Tapi akhirnya, tetap harus
bersesuaian dengan dogma agama, meskipun tidak masuk akal.
Jika
kedua pandangan tadi sama-sama dipakai untuk mendefenisikan Tuhan, maka
hasilnya adalah Tuhan yang belum tentu memuaskan manusia, karena hanya
berlandaskan atas wahyu yang tidak epistemologis. akhirnya, manusia kesulitan
dalam mendefiniskan konsepsi Tuhan.
Kesulitan
dalam mendefenisikan Tuhan juga dialami oleh Maslow. Menurutnya, definisi Tuhan
yang di utarakan oleh para teolog cenderung menafikan konsepsi manusia akibat
mengalami Tuhan. Ada kejanggalan dalam konsepsi Tuhannya, yang terlihat dalam
asumsinya dalam membuat definisi tersebut. Dia mengingikan agar defenisi itu
juga dapat merangkul orang-orang atheis yang tidak percaya Tuhan secara
transenden-esoteris. Karena itu, Maslow mengatakan:
“Jika Tuhan di defenisikan dengan “ada dengan sendirinya”, atau
“prinsip integrasi alam” atau “keseluruhan segala sesuatu”, atau “kebermaknaan
kosmos” maka apalagi yang akan di tolak oleh atheis? Mereka akan menyetujui
bahwa Tuhan adalah “Prinsip integrasi” atau ‘prinsip harmoni’.[7]
Dalam bagian lain, Maslow mengatakan:
Pada akhirnya, “Tuhan” menjadi keputusan yang arbitrer dan
pengikutsertaan secara individual yang ditentukan dengan sejarah,
ketersingkapan dan mitos seseorang yang semuanya di dapat secara individual…
yang menjadi perhatian kita adalah situasi sekarang ini, seperti yang ada pada
ajaran Budha tentang “perhatian tertinggi” dan pandangan Paul Tillich tentang
“dimensi kedalaman” itu lebih menghubungkan para agamawan kepada orang-orang
agnostic ketimbang orang beragama lainnya yang memandang agama sebagai
kebiasaan dan adat dan memahaminya secara konvensonal, superficial…[8]
Melalui penjelasan
ini, jelaslah sudah bahwa Tuhan dalam pandangan Abraham Maslow adalah yang ada
dengan sendirinya, atau prinsip integrasi di alam ini, atau cakupan ‘segala
sesuatu’, atau Tuhan sebagai kebermaknaan kosmos yang inti dari semuanya adalah
prinsip keharmonisan. Nampaknya Maslow –berdasarkan perkataannya di atas setuju
dengan pandangan yang terakhir. Jadi tuhan dalam pandangannya bukan ‘yang
sakral’ yang ada pada level transenden esoteris sekaligus imanaen yang
kehadirannya dapat diraskan pada level eksoteris, karena –nantinya – dia tidak
terjangkau oleh manusia, menjadi terpisah dengan keduniaan dan kekinian dan
bahkan bisa menjadi musuh manusia.
Pandangan ketuhanan yang demikian di dasari oleh dominannya
subyektifitas kemanusiaan yang menafikan sisi kemanusiaan sebagai ketidak
berartian di mata Tuhan. Manusia di pandang yang paling unggul, bahkan ukuran
segalanya, hingga akhirnya mencoba mengukur Tuhan sebatas prinsip keharmonisan.
Cara pandang seperti ini memang biasa diutarakan oleh para humanis yang
cenderung sekuler.
Definisi Maslow tentang Tuhan cenderung menjadi bagian dari sekularisasi.[9]
Dia mengatakan: Jika tuhan berada diluar alam dunia dan manusia maka akan
terpisah dari yang profane dan sekuler dan tidak ada apa-apa untuk dilakukan
dengan mereka dan bahkan bisa menjadi musuh mereka.[10]
Salah satu gambaran Tuhan yang disebutnya sebagai prinsip harmoni
tadi terlihat dalam implikasi pengalaman puncak yang menurutnya adalah jalan
menuju keilahian. Melalui pengalaman puncak, seseorang bisa mencapai derajat
keilahian, atau menjadi Tuhan. Bagi Maslow, Pengalaman Puncak bisa menjadikan
seseorang “The gods who can contemplate and encompass the whole of being”, sebab
sifat orang yang mengalami pengalaman puncak memiliki kesamaan dengan sifat
Tuhan yang tidak memiliki kebutuhan, atau kehendak, tidak ada kekurangan,
kelemahan senantiasa dalam kesenangan, dan tidak memiliki motifasi. Dia
mengatakan “kita harus ingat bahwa tuhan-tuhan itu tidak memiliki kebutuhan
atau keinginan, tidak ada kekurangan, kelemahan dan selalu senang dalam
berbagai hal”. Jika seperti itu maka Maslow meyakini kemampuan manusia menjadi
Tuhan yang secara eksistensial tidak mungkin, karena apabila manusia menjadi
Tuhan maka akan ada yang menyamai Tuhan.
Penutup
Tuhan dalam pandangan Maslow adalah yang ada dengan sendirinya,
atau Tuhan sebagai kebermaknaan kosmos yang inti dan semuanya adalah prinsip
keharmonisan. Salah satu gambaran Tuhan yang disebutnya sebagai prinsip harmoni
tadi terlihat dalam implikasi pengalaman puncak yang menurutnya adalah jalan
menuju keilahian. Melalui pengalaman puncak, seseorang bisa mencapai derajat
keilahian, atau menjadi Tuhan.[11]
DAFTAR PUSTAKA
A Loen, Arnold. 1967. Secularization: Science Without God?. London:
SCM Press.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1985. Islam, Secularism, and The
Philosophy of The Future. London: Mansell Publishing Limited.
_______. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur Malaysia:
ISTAC.
_______. 1993. Prolegomena to The Metaphysic of Islam: an
Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam. Kuala
Lumpur Malaysia: ISTAC.
_______. 1998. The Religions of Islam: Course lecture. Kuala
Lumpur Malaysia: ISTAC.
_______. 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur
Malaysia: ISTAC.
Boeree, George. 1997. Personality Theories: An Introduction. Psychology
Department Shippensburg University.
Ghilab, Muhammad. 1947. Muskilat al-Uluhiyyah. Kairo: Darul
Ihya al-Kutub al ‘Arabiyyah.
Keane, John. 2000. The Limits of Secularism, dalam John L
Esposito and Azzam Tamimi, Islam and Secularism in the Middle East. London:
Hurst & Company.
Madhofir, Ali. 2001. Kamus
Filsuf Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Marx, Karl. Friedrich Engels. 1957.
On Religion. Moscow: Foreign languages Publishing house.
Maslow, Abraham Harold. 1976. Religions, Values and Peak
Experiences. New York: Penguin Books.
Nasr, Sayyed Hossein. Knowledge and The Sacred: The Gifford
Lectures. Edinburgh University Press.
Wach, Joachim. 1958. The comparative Study Of Religion. New
York: Columbia University Press.
[1] Muhammad
Ghilab, Muskilat al-Uluhiyyah, (Kairo: Darul Ihya al-Kutub al
‘Arabiyyah, 1947), cet. Ke-2, p. 13
[2] Joachim Wach, The
comparative Study Of Religion (New York: Columbia University Press, 1958),
p. 39
[3] Ali Madhofir, Kamus
Filsuf Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), cet, I, p. 352
[4] George Boeree,
Personality Theories: An Introduction, (Psychology Department
Shippensburg University, 1997). P. 55
[5] Karl Marx,
Friedrich Engels, On Religion. (Moscow: Foreign languages Publishing
house, 1957), p. 24
[6] Sayyed Hossein
Nasr, Knowledge and The Sacred: The Gifford Lectures, (Edinburgh
University Press), p. 36
[7]
Abraham Harold Maslow, Religions, Values and Peak Experiences, (New
York: Penguin Books, 1976), p. 44-45. Dalam penjelasan lain, dia mengatakan:
“…that leading theologians, and sophisticated people in general, define their
god, not as a person, but as a force, a principle, a gestalt-quality of the
whole of Being, an integrating power that espresses the unity and therefore the
meaningfulness of the cosmos? The “dimension of depth,” etc. lihat p. 55
[9] Arnold
A Loen mendefenisikan sekularisasi sebagai proses hstoris yang menghilangkan
peran Tuhan dari dunia. Sekularisasi mengembnalikan ke3sadaran manusia untuk
mempertanyakan apa dan siapa Tuhan itu. Karna tidak terpecakan maka manusia
mempercayai kepda fakta bahwa searang ini dunia berada tnapa Tuhan.
Lihat:Arnold A Loen, Secularization: Science Without God?, (London: SCM
Press, 1967), p. 7, 27. Proses ini membebaskan dunia dari pemahaman keagamaan,
mengesampingkan padnagnan hidup dan penghancuran mitos-mitos supranatural dan
symbol-simbol sacral. Di dalam proses ini terkandung proses peniadaan
kesakralan pada nilai dan alam, dan juga desakralisasi politik. Lhat: syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur Malaysia:
ISTAC, 1993), p. 12-20. Lihat Juga: Syed Muhammad Naquib ak-Attas, Risalah
untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur Malaysia: ISTAC, 2001), p. 196-198.
Lihat juga syed Muhammad Naquib al-Attas, The Religions of Islam: Course
lecture, (Kuala Lumpur Malaysia: ISTAC, 1998), p. 133-134. Lihat juga syed
Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysic of Islam: an
Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam, (Kuala
Lumpur Malaysia: ISTAC, 1993), p. 21-26. Lihat juga Syed Muhammad Naquib
al-Attas, Islam, Secularism, and The Philosophy of The Future. (London:
Mansell Publishing Limited, 1985), p. 14-17. Proses sejarah ini juga di
pengaruhi oleh pengalaman keagamaan yang individual dan hanya berhubungan
dengan apa yang bisa dilakukan dalam kesendirian seseorang berdasarkan
demokrasi proses ini menawarkan pemahaman agama secara demokratis yang hingga
saat ini gagal untuk menghasilkan pemahaman agama yang demokratis karena selama
proses pemahaman ini masih berlandaskan demokrasi maka selama itu juga masih
bertentangan. Lihat John Keane, The Limits of Secularism, dalam John L
Esposito and Azzam Tamimi, Islam and Secularism in the Middle East, (London:
Hurst & Company, 2000), p. 31-32.
[10] Religions,
Values, and Peak Experiences: p. 14-15
[11] Abraham Harold
Maslow, Religions, Values and Peak Experiences, (New York: Penguin
Books, 1976), p. 64
0 comments :
Post a Comment
Terima kasih telah mengunjungi dan berkomentar bijak di situs ini.