Mahasiswa Insitut Studi Islam Darussalam
Sumatera Utara –Medan-
Ahad, 07 April 2013
Assalammu’alaikum... teman-teman calon penulis bangsa, sebelumnya ku perkenalkan diriku dulu ya, namaku Irwan Haryono Sirat, akrab di panggil irwan. Aku tidak mengira mengapa akhirnya jalan untuk menempuh impianku semakin jelas dan terang; meskipun terjalani dalam step yang lambat, tapi bagiku luar biasa hebatnya, sampai ketika aku bertemu dengan bang Ma’mun Affany (penulis novel: ‘Kehormatan dibalik kerudung’), dalam banyak kesempatan aku dan teman-teman sering berjumpa dengan beliau, dalam forum tidak begitu resmi sering tercipta dialog cair seputar penulisan. ya... mungkin bagi beliau terkesan biasa dengan pertanyaan-pertanyaan general yang memang sangat umum dipertanyakan setiap pemula dalam dunia kepenulisan. Dari mulai apakah ada cita-cita ingin jadi penulis sebelumnya? apakah menulis novel itu sulit? Bagaimana cara mendapatkan inspirasinya? Dan beberapa pertanyaan remeh lainnya... mungkin bagi beliau pertanyaan tersebut tidak lebih dari hal biasa yang sering terulang, tapi berbanding terbalik dengan kami yang menganggap itu dialog berharga yang tak kan pernah terlupakan. Sangat luar biasa bagi kami yang animo menulisnya sedang menggebu-gebu. Sampai aku merasa ada keanehan dalam diriku, biasanya selalu merasa bosen ketika mendengar penjelasan yang sama dan berulang-ulang tapi ntah mengapa tidak untuk yang satu ini, (mungkin terkesan berlebihan tapi sejujurnyalah yang ku katakan dalam tulisan ini), sama sekali tidak pernah bosan mendengar penjelasan beliau meskipun berulang-ulang; Penjelasan beliau bak magnet, yang memiliki dua kutub; beliau di kutub utara dan aku dikutub selatan, sehingga saling tarik-menarik. Menjadikan proses tulis-menulispun terasa mudah dan nikmat untuk di konsumsi tidak sekedar hari itu, besoknya bahkan lusa, rasa keingainan untuk menulis juga belum bisa pudar dari ingatan. Aku rasa memang dunia kepenulisan itu tidak ada habisnya untuk di perbincangkan.
Menanggapi animo masyarakat kampus yang bersistemkan asrama membuat interaksi kami semakin mudah, beliau tinggal di bagian depan kampus tepat di asrama pascasarjana ISID (tahun 2012 kemaren), sedang kami tinggal di Rusunnawa belakang kampus (hingga detik ini), terlihat begitu banyak yang berminat dan merasa haus imajinasi, dengan segala kerendahan, selayaknya seorang murid yang notabene selalu meminta, maka dengan harap cemas kami menjumpai beliau dan mencoba berkomunikasi dengan selapang-lapangnya dan seluas-luasnya, kami tak dapat menutup-nutupi keinginan kami dengan bahasa lebih indah lagi; agar beliau menangkap pesan tersirat yang kami verbalkan, kami juga belum banyak tau gudang kosa kata indah untuk menyampaikan maksud tanpa harus terucap jelas bunyinya, sampai akhirnya tercetuslah keinginan untuk mengikuti kursus menulis dengan beliau. Teramat terkejutnya kami ketika beliau menjawab “oke ana siap”, jawaban santai sambil menganggukkan wajahnya, tidak tampak keragu-raguan beliau menerima kami sebagai muridnya.
Sampai akhirnya kami diangkat secara informal, dalam arti kata; sah, menurut kesepakatan, tanpa harus mengundang Rektor untuk memberikan sambutan sebagai pembukaan kursus. Dengan forum yang begitu mahasiswa ini; selalu kondisional, kami tetap dihadapkan pada satu konsekuensi awal yang harus kami matangkan sabagai i’tiqod di permulaan, yaitu dengan mengingat pesan beliau: “Belajar menulis jangan setengah-setengah; dalam artian fokus, dan pertahankan kontiniunitas/ keistiqomahan”, sebab dalam kursus penulisan itu kami diajarkan bahwa segala sesuatu itu harus berawal dan diawali dengan usaha dan proses, tidak ada sesuatu yang INSTAN ‘sim salabim abra kadabra’, “Ingat selalu ada proses” begitulah kalimat yang sering diulang-ulang beliau.
Berikutlah konsekuensi yang harus kami sanggupi, dan kami rasa itu hal yang teramat sangat tidak memberatkan, tapi ternyata seleksi alam itu selalu ada; diawal sebagian banyak masih bertahan dengan segenap keistiqomahan, mulai pertengahan masa kursus, hanya yang benar-benar bertekad bulatlah yang tersisa. Hingga akhirnya beberapa orang sajalah yang dapat mencicipi manis hasil didikan seorang novelis produktif yang telah melahirkan 5 novel legendaris tersebut. Diantara mayoritas komentar yang beredar dan berhasil ku tulis, beginilah bunyinya: “Cerita dan alur yang luar biasa, beliau selalu menghadirkan nuansa baru dalam alur cerita, tidak ada kesamaan antara novel satu dengan novel yang lainnya, notabene kesemuaannya membahas tentang cinta. Hebatnya lagi obat dan ramuan yang digunakan untuk menyelesaikan klimaks permasalahan terasa begitu unik, maka tidak berlebihan kiranya aku menyebutnya: ‘ solusi bombastis’.”
Dalam kursus kepenulisan tersebut setelah pertemuan pertama sebagai perkenalan: kami diminta menuliskan sebuah tulisan tentang gambaran/ view/pemandangan, atau apa saja yang bisa kami lihat dan rasakan dan mencoba untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan, sehingga si pembaca dapat menikmati pemandangan tersebut sama seperti yang kita lihat bahkan lebih indah lagi, pastinya dengan gudang kosa kata kita yang melimpah ruah. Proses ini berjalan cukup lama, ada sekitar 2 minggu kami melakoni hal ini; tanpa tahu apa maksud asli dari ini semua, selain hanya sekedar mendeskripsikan view. Setiap pukul 07:00 WIB pagi, kami harus meletakkan kertas hasil tulisan kami di meja depan perpustakaan pasca ISID, yang telah sengaja disediakan di atas meja tersebut dua kardus kecil bertuliskan “Today” dan “Yesterday”; setiap tulisan yang masuk di hari pertama di masukkan di kardus ‘today’ dan jika telah masuk di hari setelah nya maka kertas yang tadi di pindahkan di kardus yang satu lagi, makanya kami di suruh melampirkan tanggal, dan nama di ujung atas kertas, tidak banyak tulisan yang kami buat hanya berkisar setengah, sampai satu halaman doank.
Setelah proses penggodokan awal selesai, kami pun akhirnya merasakan ada perbedaan yang tejadi di diri kami, rasanya memang seakan kepiawan dalam kepenulisan agak sedikit bertambah, terutama dalam kosa kata dan kemahiran mendeskripsikan pemandangan. Pada pertemuan ke duanya, kami di berikan motivasi tentang kepenulisan. Pertemuan ketiga, empat dan selanjutnya; kami banyak belajar tentang perbedaan penulis produktif dengan penulis best seller, tentang pemetaan kepenulisan, cara mengembangkan imajinasi dan masih banyak lagi yang ku rasa akan lebih ‘luwes’ lagi jika penjelasannya berasal dari beliau langsung.
Dari sekolah ini, aku mendapatkan hakikat sebenar-benarnya pembelajaran. Jika selama ini aku belajar hanya mengikuti petuah guru, ultimatum orang tua, atau materi buta dari para dosen, tapi dalam kepenulisan ini aku merasa dewasa dengan kapasitasku sebagai remaja/pelajar/mahasiswa, disini aku diajak berfikir kritis, realistis dan sistematis, tidak muluk-muluk menganggap bahwa dunia ini selalu tersenyum ramah kepada kita, tetapi sebaliknya, dunia ini kejam bagi siapa saja yang tidak ingin berusaha. Maka berbahagialah mereka yang dapat menghargai waktu dan fokus terhadap tujuan mereka.
Kursus dengan bang Ma’mun Affany sejauh yang aku rasakan, tidak sekedar hanya mengajarkan tentang kepenulisan, tapi lebih kepada mental seorang penulis, yang aku rasa itulah yang sangat melekat erat di diriku ini. Meskipun kini beliau telah berdomisili di Bandung, teramat sangat jauh dari Bumi Ponorogo; salah satu kampung terpencil di daerah jawa timur; tapi sungguh dengan sangat jujur ku katakan bahwa mental penulis itulah yang sebenarnya kubutuhkan, jika hanya sekedar sebuah iming-iming kemanisan, hampir di setiap lembaga selalu mengedepankan itu, tapi menyembunyikan kepahitan yang ada di baliknya. Disini semuanya di buka dengan begitu transparan ‘open management’, susah-payahnya apa? Sukarnya bagaimana? dan juga mentok kehabisan imajinasi itu harus bagaimana?..... karena diawal sudah di jelaskan tentang kepahitan; sehingga dalam perjalanan nyatanya, alhamdulillah kami dapat menyesuaikan diri. Adapun jika mendapat profit dari sana, itu bukan menjadi fokus utama, tidak lebih dari serpihan angin sepooi mengeringkan keringat peluh yang telah begitu deras bercucuran. Jadi, sekali lagi ku katakan bahwa di kursus ini, aku mendapatkan pola pikir kritis, realistis dan sistematis, dan yang teramat sangat penting aku berhasil mendapatkan ruh kepenulisannya. Itulah hal terbesar yang mesti aku syukuri dan kepada Allah SWT segala puji bagi-Nya yang telah mempertemukanku dengan sosok penulis produktif seperti bang Ma’mun Affany yang tanpa disangka sebelumnya. Wa’Allahu ‘alam bishoab...
trims....