Gadis 12 Rakaat; Agama Selalu Ada di Atas
Cinta
(Sebab rasa, hati dan perasaan itu
sendiri milik sang mahakuasa)
Assalamu’alaikum wr. Wb..
Awalnya
ku coba baca epilog di kulit belakang novel, tertulis “Cinta berbeda agama adalah sebuah pilihan rumit. Satu sisi ingin
bersatu, di sisi lain agama tak merestui. Fashihah dan Bagus terjebak dalam
dilema itu.” Merasa kurang mendapatkan informasi, ku lanjutkan bacaanku ke
kata pengantar, ku amati daftar isi, hingga fokus mata ini terhenti pada judul
ke-22 yang tertulis “Gadis 12 Raka’at”, spontan membuat bola mataku membulat
besar, ingin rasanya segera membaca judul ini, tapi kuurungkan niatku agar
hikmat perjalanan bacaku. Tersimpan penasaran kecil mengapa sub judul ini
menjadi judul novel, apa hebatnya judul ini! Sekilas hati kecilku bertanya.
Novel
ini menceritakan 2 pemeran inti yang sudah kita ketahui bersama, Bagus dan
Fashihah. Dua sosok yang sama-sama memiliki kisah sedih, sama-sama memiliki
kelebihan di atas rata-rata orang awam pada umumnya dan juga sama-sama terlahir
menjadi pemeluk agama yang benar-benar taat, sayangnya satu perbedaan yang
membuat mereka terpisah jauh, mereka berbeda keyakinan.
Bagus
Pradana, sosok pemeran pertama, lahir di Manado, tanpa tahu siapa ayah dan
ibunya. Hidup sebatangkara sebagai gelandangan yang kehilangan orang tua, lalu
dipungut gereja karena di anggap memiliki talenta, di besarkan hingga akhirnya
terpilih menjadi sosok yang sering berdo’a, dan membacakan puji-pujian suci kepada
Tuhan di gereja dengan suara merdunya.
Pemeran
inti kedua, Aisy Fashihah Ilma, nama yang cukup indah, seindah parasnya.
Fashihah adalah pujaan di Pondok Pesantren Sabilul Huda, memiliki suara syahdu
dalam mengaji, belum ada yang dapat mengalahkannya dalam MTQ cabang Qira’atul
Qur’an, cara berbicaranya santun, menjadi juara pesantren, certas, cantik dan
terlahir dari keluarga terpandang dan kaya raya, khusus urusan kepribadian
Fashihah mendalami makna keanggunan dan kebaikan dengan filosofi yang dalam.
Sungguh sangat luar biasa hawa yang tergambar menjadi pemeran utama di novel
ini.
***
Novel
pink ini agak berbeda dengan novel bang ma’mun sebelumnya, dahulu halamannya
sampai 400-san dan khusus yang terbaru ini hanya 272 halaman, itupun sudah
dengan galeri novel beliau beserta testimoni pembaca setia karyanya. Kalau dulu
tebal minta ampun, sekarang tipisnya bukan main, di ramu lebih minimalis, heheh.. Udah macem
dekorasi rumah aja.
Selaku
pembaca, komentar adalah makanan favoritnya, dan coretan blog menjadi lahan aplikasi
hasil cerna bacaannya. Jadi kiranya wajar jika pembaca sedikit mengomentari
novel terbaru yang berada di tangan ini, secara singkat komentar saya pribadi
meliputi 5 hal yang penting, diantaranya: Dari sudut alur cerita, kesamaan
dengan novel penulis lain, kesamaan dengan novel bang ma’mun sendiri, khas
tulisan ala Ma’mun Affany, dan Kekhasan novel ini. Dan tentu saja di tutup
dengan sedikit harapan dari pembaca miskin ilmu ini pastinya.
Pertama: Dari sudut alur cerita.
Judul
pertama masih berbicara bagaimana sosok Bagus, siapa dia, bagaimana dia, apa
saja rahasia yang ia miliki termasuk keahlian khususnya yang tidak dimiliki
sembarang orang. Memasuki judul kedua mulai timbul masalah, dengan penugasannya
untuk mendekati seorang gadis muslimah taat yang terjaga aman di Pesantren
Sabilul Huda, putri dari bapak Husein, tokoh tersohor Singosari, Malang, Jawa Timur.
Aisy Fashihah Ilma namanya. Misi utama Bagus, bagaimana membuat Fashihah murtad
dari agamanya. Ia gunakan jurus menuntut ilmu, seakan dia tahu bahwa pesantren
sangat berat menolak santri yang tulus niat ingin belajar ke pondok. singkat
cerita Bagus pun di terima oleh Gus Ali Pimpinan pesantren, dan kesehariannya
menngabdikan diri pada beliau, apa saja dikerjakannya mulai, bersihkan rumah,
nyuci mobil, nyapu halaman dan lain sebagainya. Fokusnya hanyalah pada
Fashihah.
Sementara
di waktu bersamaan, Bagus juga sudah memiliki kedekatan khusus dengan Yuna,
seorang dokter muda cantik, pintar dan juga perhatian yang terang-terangan siap
untuk setia, tidak mau ditinggalkan, walaupun konseksuensi keberhasilan misi Bagus
sampai menikahi gadis muslimah tersebut, Bagus tak tega, namun Yuna masih kokoh
pada pendiriannya. “Aku tetap bersamamu,
jalankan tugasmu, jangan lupakan aku. Cinta wanita seperti akar, menghujam
dalam. Kalau dicabut dan dipindah, akan kering kerontang, aku tetap
disampingmu. Jika sudah selesai, kembalilah padaku, aku hadir untukmu...”tampak
berat yuna mengucapkan kata-katanya barusan.“Tidak
ada yang bisa menolakmu, tapi aku takut tak bisa setia. Hidupku hanya untuk
Tuhan...” jawab Bagus sejujurnya. “Aku
semakin cinta padamu...” tutup Yuna kagum. Begitulah kira-kira sedikit
cuplikannya...
Di
buka di awal dengan permasalahan perasaan, selanjutnya apakah masih seputar perasaan
atau kejadian, atau pemberontakan atau tentang logika sebuah tindakan...?
Penasaran? Monggo... di lanjutkan bacanya.... hehehe... yang Aku suka dari
novel abangku yang satu ini ya... dari cara penulisan masalah inilah, amunisi
ampuh menggaet pembaca untuk segera menuntaskannya.
Kedua: Dari kesamaan dengan cerita novel penulis lainnya
Sejauh
yang aku kenal, bang Ma’mun tidak pernah membaca novel lain selain karya buya Hamka,
itupun novel “Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck” jadi mungkin beliau tidak mengira ada kesamaan cerita dengan novel
lainnya.
Dalam
adegan perkelahian mengejar maling yang masuk pondok, sepintas tergambar adegan
perkelahiannya khas ramuan kang Abik dalam “Ayat-Ayat
Cinta”, ketika Fakhri berkelahi dengan Bahadur, apalagi ketika si maling
mengeluarkan pisau, hampir persis tapi tetap tidak sama pastinya, bak kata
pepatah: lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, masing-masing
tetap masih memiliki sisi identitas yang melekat erat pada masing-masing
cerita. Ehm...... Mantap
Disisi
lain novel ini juga mengajarkan risalah Islamiyah, seperti nasehat keagaan
namun diramu dengan dialog interaktif mengalir, sehingga pembaca tanpa terasa
telah mengkonsumsi nasehat, Seperti cerita Azam yang mengajar konsep ibadah
pada Fadhil di novel “Ketika Cinta
Bertasbih”, “Mendahulukan orang lain
dalam ibadah itu tidak boleh, tapi dalam mu’amalah itu keharusan” agak
sedikit mirip dengan situasi Bagus ketika menjumpai Gus Ali untuk meminta
nasehat dan bersyahadat. Keduanya memiliki emosi alur cerita yang sangat
berdekatan.
Ketiga: Kemiripan dengan novel bang Ma’mun yang lainnya
Pertama,
pada halaman: 145 mencerminkan gambaran penasaran perasaan dan hati wanita yang
iri dengan wanita yang lainnya, mengingatkan pembaca dengan karya beliau “Kehormatan di Balik Kerudung”.
Kedua, pada
halaman: 196 bercerita tentang kehilangan, mencari-cari kabar berita,
mencari-cari alamat orang, hingga meyakinkan pasangan kembali atas cinta suci
yang tiba-tiba menghilang di telan hilangnya ingatan, samar-samar mengantarkanku
pada novel “29 Juz Harga Wanita”disana
tak terbayang betapa luar biasanya perjuangan sosok seorang lelaki untuk
menumbuhkan kembali bibit cinta sang istri yang tiba-tiba menghilang begitu
saja dalam waktu yang lama.
Keempat: Khas karangan yang dimiliki seorang Ma’mun (sosok penulis
kawakan)
Kemampuan
mengibaratkan dan menvisualkan wujud paras seseorang adalah khas Ma’mun yang
hampir dibumbuhi secara merata pada setiap buah penanya.“Fashihah tercipta dari puing-puing keindahan yang berserakan dari
banyak makna kecantikan. Disatukan dalam sosok wanita penuh kebahagiaan dan
kelembutan. Melihat Fashihah seperti melihat keajaiban Tuhan.” Begitulah satu contoh singkatnya.
Selain
dari pada itu, kemampuan menceritakan perpindahan waktu dari masa ke masa
terasa mengalir begitu saja. Tergambar pada saat Perpindahan tahun 1 -6 tahun
pernikahan tidak terasa. Belum lagi saat menyambungkan antara satu episode
cerita ke cerita setelahnya, tepat pada episode 20 “Tetap Mandul” ke episode 21 “Tak
Ada Yang Sempurna” terasa alur emosi pembaca terbawa suasana hingga akhir
cerita.
Selanjutnya
kemampuannya memilah-milih kata menjadikan sesuatu sederhana menjadi istimewa,
tepatnya saat menceritakan keanggunaan Fashihah “Bajunya tidak mahal, tapi serasi, bahkan sampai sepatu. Fashihah
pintar memadukan kesederhanaan menjadi keistimewaan.”
Akhirnya
sampai pada bagian terindah novel ini
yang tidak boleh dilewatkan adalah saat ada dialog rayuan cerdas, benar-benar
menggelitik perut, membuatku senyum-senyum sendiri... Jangan kira aku gila
sendiri ya.... berikut salah satu dari banyak petikan rayuan cerdas lainnya,
tergambar saat Bagus sahut-sahutan dengan Fashihah, “Kau pandai sekali menggembirakan wanita. Kau pasti laki-laki buaya”
ucap Fashihah, Bagus tersenyum “Aku tidak
punya daya apa-apa. Wanita sekarang sering melihat keturunan dan kekayaan. Aku
laki-laki biasa.” “Kau baik, itu sudah menjadi obat wanita paling mujarab di
dunia” Fashihah membalas. “Aku kira
hanya laki-laki yang pandai memuji, ternyata wanita dihadapanku lebih pandai”
Bagus menunduk. Hahai... Jadi malu.... J
Kelimat: Ciri khusus novel ini
Secara kekhususannya
novel ini berbeda dengan novel bang Ma'mun yang lainnya, disini nampak cerita
yang ingin di angkut adalah nikah beda agama, namun tidak cukup hanya disitu,
ada banyak pesan moral, nasehat kebijaksanaan, rahasia pendidikan dan cara
bersikap serta mengambil keputusan yang diajarkan disini, sehingga tanpa terasa
pembaca juga terbawa masuk ke dalam inti nasehat yang sangat luar biasa.
Selain dari pada
itu, novel ini membocorkan beberapa rahasia pendidikan pondok, dimana sosok
kyainya adalah sosok yang tidak terlalu silau dengan kemewahan dunia,
beliau sederhana namun di kagumi masyarakat, cirinya selalu mampu mengambil
kehidupan dunia sebutuhnya, santrinya terbiasa hormat, taat dan patuh pada
kyai, dan berkerja seikhlas serta semaksimal yang ia mampu lakukan.
Berikut
berberapa pesan moral yang langsung di kutip dari novel tersebut tanpa ada
perubahan redaksi, agar asli yang di tampilkan, agar lapang ruh penulis masuk
kedalam relung hati pembaca setia lainnya.
Pesan moral pertama: Tentang kerukunan dalam
beragama, baik dalam berkeyakinan maupun bersikap dan berinteraksi. Pesan
tersebut tergambar jelas dari nasehat Gus Ali Kepada Bagus: “Islam itu intinya ibadah dan muamalah.
Ibadah kepada Allah, dan muamalah kepada manusia dengan baik. Bahkan kamu
menyingkirkan duri dari jalan itu sebuah tanda keimanan. Mengikat tali saudara
sesama muslim juga tanda iman. Jangan kamu sakiti orang lain. Bahagiakan selalu
orang lain. Kalau kamu tidak mampu berbuat baik, paling tidak jangan menganggu.”
Begitu jelas bukan pesan yang
disampaikan?
Pesan moral kedua: Yang di tanamkan novel ini
bahwa wanita itu mahal, harus bisa jaga kehormatan diri. tersirat dalam dialog
Fahsihah dengan Bagus: “Kata ibu aku
cantik, aku sangat menarik bagi laki-laki. Aku sejujurnya takut sekali. Aku
yakin diamanati kecantikan ini bukan sebagai hiburan. Aku yakin ini untuk
dijaga. Aku yakin masih banyak laki-laki baik. Yang aku khawatirkan laki-laki
yang tak baik. Aku belum bisa jaga diri meski sudah sebesar ini” Fashihah
menarik nafas panjang.
Pesan moral ketiga: Bahwa ibu adalah tempat
curahan hati gadis sebelum ia menikah, sebab ibu yang paling tahu tentang
anaknya dan tahu mana yang tebaik untuk putrinya. kembali nasehat murni khas
orang tua pada anak gadisnya tersirat pada dialog ibunya Fashihah kepadanya
jauh sebelum ibunya meninggal dunia: “Menilai laki-laki mudah, laki-laki
baik selalu menghormati wanita dan tidak menjerumuskannya dalam bahaya dunia
dan alam baka. Dia akan memuji tapi bukan menggoda, dia akan meninggikan tapi
tidak mengada-ada.” Ehem..... udah pada baper belom...? hehehehe....
Harapan untuk terbitan Novel
Berikutnya
Tidak mengerti apakah kisah novelnya yang
mudah tertebak atau karena pembaca sudah membaca karya beliau berkali-kali,
sehingga terbaca betul alur cerita dan ujung ceritanya.
Pertama, terbaca pada saat Fashihah
mengadukan Bagus pada Nyai pondok karena telah memasuki areal putri karena
mengejar maling, sampai akhirnya Fashihah yang memiliki hati lembut bak sutra
itu, merasa iba karena bagus mendapat hukuman berat oleh karena
aduannya, serasa hukuman tidak setimpal dengan kebaikan yang telah ia kerjakan
di waktu yang bersamaan pula dan karena Bagus menjalani hukuman dengan lapang
dada, serta menikmatinya, secara berkala timbul benih-benih simpati Fashihah yang
datang begitu saja.
Kedua,
sosok Bagus yang memiliki suara bagus bakalan di pertontonkan di depan jama'ah
ketika membaca al-Qur'an, sangat terbaca karena memang tujuannya hadir ke
Pesantren adalah untuk bisa mendapatkan Fashihah, belajar bahasa Arab dan
Mengaji, dan satu-satunya langkah yang memang masuk akal untuk bisa di kenal
banyak orang, dan di kagumi santriwati adalah dengan tampil memukau dengan
kelebihan yang sangat matang.
Ketiga,
bagiku pada saat digambarkan wanita hamil berjalan keluar dari gereja bersama
Santo, hampir menggambarkan jalan cerita novel ini sampai akhir, tidak seperti
novel "Kehormatan Dibali Kerudung" dan "29 JUZ Harga
Wanita" yang penasarannya poool...
Agar
tidak berkurang cita rasanya, akan lebih baik jika pembaca menyudahi bacaannya
sampai Hakim pengadilan usai ketuk palu, tanda kasus usai dan di tutup. Setelah
menemui Bagus Fashihahpun menghampiri, dan memeluk Yuna. Saranku, jangan
melanjutkan bacaanya.... Jangan tanya kenapa ya,.. Ikuti saja...
Akhir
Kata, “Kesempurnaan itu tak pernah hadir pada manusia. Manusia selalu diberikan
kekurangan agar kesombongannya tak berlebihan.” apabila ada salah kata, salah
ketik, membuat penulis novel dan pembaca setia novel ini marah, sakit hati, dan
dongkol hati dengan saya. Dengan tulus hati saya memohon maaf yang
sebesar-besarnya kepada semuanya.
Selanjutnya
....... Selamat membaca .....
Wassalamu’alaikum
wr. Wb..
Lumut...
Ahad, 10-03-2019 (22.25 wib)
Waiting list buku ini, beberapa karya bg ma'mun afani yang mengelitik jiwa, membawa pembaca seolah berperan di dalam cerita,,diantaranya penjara suci dan masih banyak lagi
ReplyDeleteGadis 12 rakaat: perdebatan hati Fasihah dan Bagus. Novel yang menarik untuk dibaca.
ReplyDeleteAssalamualaikum wr wb...bang Ma'mun yang kami banggakan..mohon diberikan izin dan restunya, novel Gadis 12 Rakaat akan ana coba dibedah dan dijadikan satu tulisan dalam tugas akhir TESIS..mohon petunjuknya yah bang....jazakumulloh atas karya bang Ma'mun yang keren ini....
ReplyDelete