Judul Buku: 'ghirah' Cemburu Karena Allah
Penulis: Prof. Dr. HAMKA
Penerbit: Gema Insani, Depok
Cetakan: Ketiga, Rabi’ul Akhir 1438H/Desember 2016 M
Tebal: 154 hlm; 18,3 cm
Resensator: Irwan Haryono S., S.Fil.I
"Hilangnya 'ghirah' agama pada diri seorang Muslim adalah awal dari hilangnya Islam dari dirinya, dan hilangnya Islam dari seorang Muslim adalah awal hilangnya Islam dari masyarakat dan bangsa"
Membahas tentang ''ghirah'' serasa kesadaran diri, dan jiwa yang lemah ini sedang babak belur di hujami kata-kata buya. Terbayang sosok tangguh buya hamka sejak tahun 1982 silam menasehati tanpa henti. Beliau telah mengingatkan berulang-ulang akan pentingnya menjaga 'ghirah', dan lebih hebatnya lagi, apa yang beliau katakan 36 tahun yang silam serasa masih segar, bahkan seakan nasehat kemarin sore yang masih hangat terdengar di telinga menyikapi fenomena negeri yang terjadi belakangan ini.
Lebih jelas mari kita perhatikan bagaimana buya hamka mengartikan 'ghirah' demi menanamkan nilai-nilai keislaman yang sangat kental untuk masa depan bangsa Indonesia terkhusus umat muslim.
'Ghirah' atau cemburu ada dua macam, yakni terhadap perempuan dan agama. Jika adik perempuanmu diganggu orang lain, lalu orang itu kamu pukul, pertanda padamu masih ada 'ghirah'. Dan jika agamamu, nabimu, dan kitab suci al-Qur'anmu di hina, dilecehkan, direndahkan, dan disepelekan sedangkan kamu hanya berdiam diri saja, jelaslah 'ghirah' telah hilang dari dirimu.
Jika 'ghirah' atau siri dalam bahas Orang bugis, Makssar, Mandar dan Toraja tidak dimiliki lagi oleh bangsa Indonesia, niscaya bangsa ini akan mudah di jajah oleh asing dalam segala sisi. Jika 'ghirah' telah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan tiga lapis. Sebab kehilangan 'ghirah' sama dengan mati!
Keras beliau memberikan himbauan, bukan hanya pada umat muslim namun juga 'mewanti-wanti' (baca: diperingatkan berkali-kali) pada bangsa Indonesia agar berhati-hati dalam melangkah jika tidak ada ghirah di dalam dada, sebab langkah tanpa rasa cemburu yang positif, di takutkan langkah lunglai tanpa arah, jauh tertinggal dari semangat leluhur bangsa Indonesia yang kokoh, siap dengan lantang menyuarakan kemerdekaan berkobar semangatnya dan terpatri erat nilai ilahi dalam hatinya.
Samar-samar dari ujung surau seakan terdengar suara beliau memberi petuah kembali, menceritakan bagaimana 'ghirah' itu dimaknai sebagai syaraf, rasa malu, nyawa dan harga diri. Sampai keluar satu ungkapan hebat dalam pribahasa pemuda minangkabau: "Arang tercoreng di Kening. Malu tergaris di Muka", (Kalau rasa malu menimpa diri, tidak ada penebusnya kecuali nyawa.)
Begitu dahsyatnya orang tua minang mendidik putra-putrinya sebagai generasi minang yang kental akan jati diri. Selain itu juga di antara pesan yang sering di ulang-ulang kepada anak-anaknya adalah agar menjaga syarat dan menghidupkan 'ghirah'. Kembali Pesan orang tua minang pada anak lelakinya "Jaga adikmu. Ingatlah, semua yang memakai kutang dan berambut panjang adalah saudaramu dan ibumu." Pesan leluhur yang harus selalu diingatkan pada pemuda kampungnya untuk menjaga saudara seadat sekampung setanah air, dapat dilihat di awal buku ini tepatnya di halaman 4 pada paragraf kedua.
Bila setiap jiwa memiliki 'ghirah' demi menjaga muruah pada diri, keluarga, agama, serta bangsa dan negara; negeri kita pasti akan aman dari pengaruh luar yang menginginkan negeri ini bobrok dan jauh dari pembodohan masal yang menginginkan negeri tetap terbelakang, untuk itu pembentengan diri yang kuat dengan nilai-nilai Islam itulah salah satu solusinya.
Untuk itu walaupun istilah 'ghirah' terlahir dari konsep Islam namun dalam pengaplikasiannya 'ghirah' bukan hanya milik orang Islam yang sering di cap fanatik oleh bangsa Barat namun 'ghirah' atau Syarah (Arab) juga milik setiap jiwa manusia, bahkan masing-masing daerah atau negara memiliki istilah sendiri untuk menyebutnya, sebab dalam ghirah terkandung visi dan misi untuk menjaga muruah pada diri, keluarga, agama dan negaranya.
Bukankah 'Ghirah' juga milik Mahatma Gandhi yang terkenal dengan berpemahaman luas dan berperikemanusiaan tinggi, sampai ia bersedia melakukan apa saja untuk mencegah adik Yawaharlal Nehru, Viyay Lakshmi Pandit, dan Anaknya, Motial Gahndhi, Keluar dari Agama Hindu.
Untuk itu ghirah yang terangkum dalam buku saku ini, di tulis secara global untuk seluruh masayarakat yang dihatinya terdapat semangat perjuangan mempertahankan harga diri, negara tumpah tanah air, namun secara spesifik menanmkan nilai-nilai perjuangan kaum muslimin yang sesungguhnya.
Sebagai pendalaman materi dan perluasan wawasan kiranya, pembaca dapat menghabiskan bacaraan buku mini ini, sebab hadirnya kini ibarat obor di tengah malam yang gelap, petunjuk jalan di tengah-tengah negara yang tak tahu arah, dan penasehat bijak di antara hoax dan berita bohong yang beterbangan liar di angkasa ibu pertiwi.
Secara ringkas kami sampaikan bahwa buku ini disusun dalam 8 sub. Judul Pertama: 'ghirah' (cemburu). Kedua: Cemburu Karena Agama. Ketiga: Cemburu dan Pribadi. Keempat: 'Ghirah' pada Gandhi. kelima: Al-Ghazwul Fikri. keenam: Untuk kita pikirkan bersama. Ketujuh: Siri, dan terakhir kedelapan: Pandangan Islam terhadap Siri.
Untuk selanjutnya kami sampaikan..... Selamat membaca