Judul Buku : Merantau Ke Deli
Penulis : Prof. Dr. HAMKA
Penerbit : Pustaka Panjimas
Cetakan : Ke-VIII, Jakarta, 1982
Tebal : 157 hlm; 12,5 cm x 18 cm
Resensator : Irwan Haryono S., S.Fil.I
**
Sebelum membaca buku ini, mendadak hati bergemuruh ingin rasanya mengetahui bagaimana sastranya sang ulama yang intelek? Bagaimana beliau membintangi tokoh? Bagaimana menjadikan karya sastra menjadi dakwah? Dan banyak berkelebat tanya untuk benar-benar melanjutkan semanga bisa menghatamkan buku ini, hingga akhirnya tertulislah catatan singkat ini, semoga pembaca menyukainya, marilah kita nikmati sajian “Merantau Ke Deli”
Ku awali bacaanku membuka satu judul “Pertemuan” dari judul singkat ini saja terjawab semua pertanyaanku di atas, setelah ini tidak ada tanya ku lagi selain menikmati alur cerita yang sangat epic, luar biasa.
Bagiku, novel itu unik, ada kisah hidup yang dapat diambil hikmahnya, dalam penyajiannya novel juga memiliki ciri khas khusus, sebab dengan alasan itulah novel itu dibaca. Novel harus memiliki nilai-nilai kehidupan, syukur-syukur dakwah, dengan begitu ada banyak pembaca yang tercerahkan. “Bukankah membaca sastra dan seni dapat melembutkan hati?” Begitu salah satu ungkapan Kang Abik penulis novel fenomenal Ayat-Ayat Cinta yang masih kuingat jelas, dalam salah satu novel yang ditulisnya.
“Merantau Ke Deli” adalah satu di antara karangan Buya Hamka, sebelum Perang Dunia kedua yang dimuat berturut dalam majalah “Pedoman Masyarakat” sebagai roman-romannya yang lain. Dimuat sejak pertengahan tahun 1939 sampai permulaan tahun 1940, dan dibukukan serta diterbitkan oleh Penerbit Cerdas Medan di tahun 1941.
“Merantau Ke Deli” memiliki 16 sub judul selain pendahuluan. Pertama berjudul: Malam Gajian, kedua dan seterusnya akan ditulis berurutan, Pertemuan; Nikah; Hakikat Rumahtangga; Keberuntungan; Pulang; Angin Berkisar; Surat dari Kampung; Perkawinan; Dua Kapal Satu Nakhoda; Pecah; Menurut Adat Lembaga; Tegak Lagi; Memenuhi Cita-cita; Pertemuan dan Perpisahan; dan terakhir adalah Penutup. Masing-masing memiliki karakter kuat dalam ceritanya. Dari kesemuaan judul diatas, beberapa membuatku terusik, tak sabar ingin membacanya, khusus pada judul yang di Bold di atas, tepatnya pada halaman 9, 17, 24, 65, 102, 130, 147. Mari kita berselancar J
Alkisah awal dibuka dengan cerita tentang kehidupan kuli-kuli kontrak di kebun, banyak fenomena yang terjadi disana, sampai pada suatu ketika seorang pemuda melamar seorang gadis di salah satu desa di Ponorogo, setelah bujuk rayuannya, serta janji akan membawanya merantau ke Deli membuatnya ridho dan kedua orangnya juga merasa yakin dengan uang yang diberikan pemuda tersebut kepada mereka menandakan dia adalah orang yang baik dan mampu lagi berkecukupan, namun apa nasib yang kurang mujur atau memang nasib malang wanita yang baik-baik tersebut dibawa pergi merantau, namun sebelum sampai di Deli, baru tiba di Tanjung Priok barulah ia sadar bahwa suaminya bukan orang baik-baik, setelah ia dimasukkan kedalam Gudang, ketika akan diangkut dengan kapal, suaminya tidak kelihatan lagi. Begini petikan isi lanjutanyaan:
“Tidaklah rupanya dia bekerja menjadi kuli di dalam kebun ini. Maka sejak meninggalkan Pelabuhan Tanjung Priok, terlepaslah saya dari segala penjagaan, macam-macamlah ancaman hidup yang menipa diri saya, selalu saya di dalam bahaya, banyak kuli-kuli itu yang hendak mempermainkan saya. Pernah sekali saya bersuami, seorang kuli bernama Warjo yang menipu saya, demi setelah bertemu olehnya perempuan yang lebih cantik, saya pun dibuangnya. Ada orang yang mengajak saya jadi ronggeng, ada yang mengajak saya jadi babu. Itulah sebabnya saya sudi saja dipungut menjadi istri piaraan oleh mandor besar ini.”
Wanita itu bernama Poniem, seorang gadis desa yang tak tahu menahu dunia luar, terpaksa terlantar jauh dari kampung halaman, dan terpaksa dewasa dengan kepahitan yang dijalaninya, hingga merasa nyaman menjadi wanita simpanan kesekian dari seorang mandor, tidak ada kata ideal tentang kehidupan, saat ini yang dia butuhkan adalah hidup yang aman, terjaga, dan dihargai sebagaimana seorang manusia semestinya, sampai pada suatu ketika, ada seorang pria Leman namanya, berusaha memintanya untuk ikut menikah dengannya, mengarungi kehidupan baru dengannya, melepaskan diri dari jeratan kehidupan di perkebunan, seraya menjalani hidup yang sebenarnya dan sehat menurut tuntutan dan tuntunan agama.
Leman seorang beradat dari kota minang, terpaku dengan seorang Poniem, seorang wanita dari Jawa, dengan tulus Leman membuka bicara “Kau jangan terlalu menghina diri Poniem, semua makhluk bernyawa di dunia ini, sama pada sisi Allah!
“Bagaimana Abang begitu lekas mempercayai saya, dan terburu-buru mengajak saya menikah, padahal belum Abang kenal betul perangai dan kelakuan saya?” tanya poniem pada Leman.
“Itu adalah ilham Tuhan, Poniem! Berkali-kali saya datang ke kebun, banyak kuli-kuli kontrak yang saya lawan bersenda gurau, bahkan ada Nyai tuan kebun sendiri. Tetapi kau Poniem, terus tersisih dan terbeda dari mereka. Dalam dirimu rupanya terdapat darah Budiman, meskipun di mana engkau tinggal!”
Poniem termenung mendengar pujian itu!
“Bagaimana Poniem?” Tanya Leman mendesak.
“Berilah saya berfikir dahulu tiga hari pula, tanggal dua puluh dua sore, kita bertemu pula di sini.”
Merekapun berpisahlah.
**
# lumayan panjang catatanku untuk novel bagus ini… Kiranya kita sambung di part 2, sebagai lanjutan cerita, semoga teman-teman masih setia untuk membacanya. Silahkan click di sini
Kamis, 6 Januari 2022
Medan, Sumut, Indonesia
0 comments :
Post a Comment
Terima kasih telah mengunjungi dan berkomentar bijak di situs ini.