**
Tanggal dua pulu dua sore… Mereka telah bertemu kembali.
.
.
Singkat cerita:
Leman berupaya meyakinkan: “Saya tanggungkan segala hinaan dan cacian, buat kau Poniem! Biar kaum kerabat saya membusukkan saya, saya akan hidup dengan engkau dan di dalam hidup dengan engkau itu, saya tidak akan meminta kepada mereka, saya tidak akan mengemis, engkau… kau tidak boleh bercerai dengan saya lagi.”
Lama Poniem mencerna setiap kata yang diucapkan, lalu dia mulai buka suara: “Saya mau menikah dengan Abang, nikah hanya perkara mudah, kita pergi kepada tuan Kadhi, lalu kita dinikahkan, kita pulang ke rumah berdua lalu kita hidup. Tetapi bang, saya tidak berkaum kerabat di sini, saya sebatang kara, saya melarat dan hidup saya senantiasa terancam bahaya. Saya memang mau menikah dengan Abang, tetapi bukan karena percintaan, bukan karena hawa nafsu, tetapi hendak meminta perlindungan bagi diri saya yang lemah. Bila kami perempuan Jawa telah bersuami, maka badan dan jiwa, harta benda, lahir bathin, dunia akhirat, kami serahkan. Celakalah laki-laki yang menyia-nyiakan penyerahan itu.”
“Demi Allah saya akan melindungi engkau Poniem! Dan biarlah Allah akan memberikan hukuman yang setimpal kepada saya, kalau saya mungkir.”
“Jangan bersumpah seberat itu Abang, melainkan mohonkanlah kepada Gusti Allah moga-moga pergaulan kita beruntung.”
“Jadi engkau kabulkan permintaanku?”
Poniem Mengangguk.
Hampir Leman melompat dari tempat duduknya lantaran kegirangan, lupa dia bahwa Poniem belum jadi istrinya. Kalau tidaklah karena malu kepada orang yang lalu lintas di seberang tanah lapang itu, maulah rasanya dia merangkul perempuan mud aitu ke dalam pelukannya.
**
Sekelumit petikan kisah di atas mengawali menariknya cerita novel singkat ini, diceritakan akhirnya leman dan Poniem menikah secara sah menurut Islam, dan memulai kehidupan baru di Kota Medan. Mengadu nasib, namun namanya berkeluarga pasti mencari kesamaan dari berbagai perbedaan, sedangkan rasa-merasa asing antara satu sama lainlah yang harus dilebur sehingga menyatulah antara dua sejoli, baik dari sedihnya, senangnya, serta masa depannya.
Tidak banyak tokoh yang digambarkan oleh Buya Hamka, dalam novel ini hanya Poniem, Leman, Suyono, Mariatun, 4 orang inilah yang menjadi tokoh utama cerita, selebihnya adalah tokoh tambahan. Yang tidak terlalu kuat penokohannya, dari sisi cerita dan alur naik turun emosinya.
Untuk latar lokasi menarik rasanya, menceritakan sedikit tentang beberapa kota yang saat ini menjadi kota besar, dengan latar belakang berasaskan budaya, kental untuk menuturkan bagaimana bentuk kota, budaya di kala itu, sangat kuat auranya.
Challenge buat para pembaca, artikanlah beberapa pribahasa buya Hamka dibawah ini,
“…Kalau hati duka dibawa gelak, tak ubahnya seperti panas mengandung hujan…”
“…tumpahkan kepercayaanmu kepadaku, kepercayaan yang tiada berkulit dan berisi…”
“…Berilah adinda sehelai selimut penutup badan, berilah sepertegak kain penutup tubuh, beroleh nasi setempurung pagi setempurung petang, cukuplah itu bagiku. …”
“…supaya engkau jangan saja menunjukkan penyakit, tetapi mencarikan obatlah…”
“…bukankah bukit telah sama kita daki, lurah sudah sama kita turuni. …”
“…Ke atas biarlah kanda tak berpucuk, ke bawah tak berurat, kalau sekiranya engkau kusia-siakan.”
“… sudah hal yang biasa, ketika damai kita bergaul, dan ketika berselisih kita bercerai. Dan setelah bercerai tamatlah cerita…”
“Timbul malu, setelah malu timbul pula rasa tahu harga diri.”
“muda habis di rantau, tua terbawa pulang.”
Bagi yang sudah baca, mesti tahu apa maksud kata-kata di atas, namun yang belum membaca, silahkan tebak sekarang, pegang dan ingat-ingat tebakanmu…. sambil coba membaca bukunya, jika tepat tebakanmu, maka nampaknya kamulah titisan Buya Hamka selanjutnya, mulailah menulis, mulailah torehkan tinta sastramu J namun jika tidak, mungkin interpretasimu dapat menghasilkan novel baru dengan nuansa yang berbeda pula, maka bekarya lah… J
“Merantai Ke Deli” Novel ini bercerita tentang layaknya kehidupan keluarga yang tidak selalu manis diawal, namun juga banyak hal yang perlu dipersiapkan, sekelumit mengambil kisah realita, sekelumit lagi tentang angan dan harapan semat. Di dalamnya kompleks berkisah tentang usaha, gagal usaha, perpecahan dalam rumah tangga, menceritakan posisi hero menjadi zero, hingga pada akhinya ada pil pahit yang harus ditelan bulat-bulat oleh Leman, dan ada sisa air mata yang harus diseka oleh Poniem dan Suyono di terminal stasiun, hingga selanjutnya dalam kehieningan keduanya berbenung, entah itu akan kejadian masa lalu, atau tentang apa yang akan dihadapinya kedepan. Keduanya terlena dalam khusu’nya masing-masing.
Bagi penikmat karya Buya Hamka pastilah tahu bahwa gaya bahasa beliau dalam tulisan ilmiah dan sastra agaknya sama sulit untuk dibedakan, namun tetap saja dapat dibedakan oleh para pembaca, ntah itu adalah kekurangan atau itu adalah kelebihan, namun yang menarik, tulisannya selalu saja menyampaikan pesan dakwah lewat tulisan, benar-benar dahaga terobati, Nurani tersirami, pikiran terinspirasi, kelakuan mulai mawas diri, sungguh luar biasa panjuran pesan dari Buya Hamka ini, sekali lagi terima kasih Buya untuk novel yang luar biasa ini.
Jazakumullah khoir, Wallahu yarhamukum, Insya Allah,.. Aamiin.
**
Judul Buku : Merantau Ke Deli
Penulis : Prof. Dr. HAMKA
Penerbit : Gema Insani
Cetakan : pertama, Sya’ban 1438 H/ Meri 2017 M
Tebal : xii + 192 hlm; 20,5 cm
ISBN : 978-602-250-388-0
Resensator : Irwan Haryono S., S.Fil.I
**
Jum’at, 7 Januari 2022
Medan, Sumut, Indonesia
0 comments :
Post a Comment
Terima kasih telah mengunjungi dan berkomentar bijak di situs ini.