‘Mengapa ombak itu bergulung?’
‘karena udara!’
‘Mengapa udara bergerak?’
‘Karena hawa panas!’
‘Dari mana datangnya panas itu?’
‘Dari Matahari!’
‘Siapa yang meletakkan panas pada Matahari?’
‘….. Diam!’
[Prof. Dr. Hamka]
**
Dalam buku ini Prof. Dr. Hamka menerangkan kepada kita bahwa ada kebesaran, keajaiban, dan keindahan dari-Nyalah yang membuktikan keberadaan Allah yang Mahakuasa, Tuhan Semesta Alam. Allah SWT yang mengatur, Menyusun, dan menguasai alam ini.
Pembahasan buku ini cukup luas; sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Memberi kesan bahwa berkembangnya ilmu pengetahuan dan hasil penelitian dan penyelidikan manusia, pada hakikatnya bukan menambah jauh dari Allah, melainkan menambah terbukanya pintu gerbang keimanan.
Aristoteles, murid plato, mempelopori filsafat berhubung hendak mengetahui hakikat dari Yang Ada itu. Dialah “Penggerak Yang Tidak Bergerak”. Dialah yang “Wajibul Wujud”, yang pasti adanya. Adapun ada yang tampak oleh pancaindra ini hanyalah yang “Mukminul Wujud.”
Berkembanglah tinjauan kepada Yang Ada itu menurut filsafat. Dari zaman Yunani ke zaman Romawi, di Tiongkok, di India bahkan di seluruh pelosok dunia karena adanya akal manusia. Dari Filsafat Yunani berkembang biak, sampai tumbuh, hingga akhirnya disambut oleh yang disebut filsafat modern, yang dimulai dari zaman Descartes.
Terjadilah pertikaian di antara ahli falsafah tentang Yang Ada, tentang asal segala sesuatu, apakah semata benda atau semata nyawa, atau gabungan di antara keduanya.
Timbul juga penyelidikan apakah akal dan pikiran itu? Apakah dia di luar dari otak, yaitu dua barang. Atau adakah dia hasil dari kerja otak. Dibicarakan pula hidup manusia. Apakah hidup itu? Apakah hidup hanya karena terdapat darah yang mengalir dalam tubuh, dan apabila darah telah dingin, terhenti atau habislah hidup. Sehingga dapat ditetapkan bahwa hidup merupakan bekas dari panasnya darah?
Tidak ada kepastian pendapat tentang hal itu. Sebab ujung segala perjalan pikiran itu akhinya akan tertumbuk kepada suatu tebing yang tidak dapat diseberangi lagi.
Akhirnya, apakah jadinya filsafat itu?
Akhirnya filsafat itu tidak lain dari pada mengumpulkan berbagai bentuk pikiran, hanya tentang dua masalah, yaitu keberadaan atau ketiadaan. Belum dapat filsafat mengemukakan masalah lain yang ketiga, di luar dari ada dan tidak ada, itu pun tidak mungkin. Itu sebabnya bagaimanapun kemajuan filsafat, hanya dapat mengembangkan kedua masalah itu saja atau memisah-misahkan masalah-masalah yang timbul dari pokok filsafat, lalu dijadikan ilmu tersendiri, dan menghentikan pembicaraan hal yang ada atau tidak ada. Berhenti membicarakan bukan berarti masalah “ada-tidak ada” tidak ada lagi.
Kita ambil satu contoh, dari sudut mana mencari Tuhan? Kita coba mencari tanda-tanda ketuhanan dari segi keindahan.
Menurut penyelidikan ahli ilmu jiwa, jiwa kita saat ini mempunyai tiga sudut yang penting dalam menghubungkan diri dengan alam. Pertama perasaan, kedua pikiran, dan ketiga kemauan.
Katanya, apabila perasaan yang lebih tekemuka dari antara ketiga sudut itu, kita akan menjadi seorang seniman. Apabila pikiran yang lebih utama, niscaya kita akan menjadi seorang filsuf. Jika kemauan (iradat) yang lebih unggul, inilah alat bahwa orangnya akan menjadi pahlawan atau seorang pemimpin yang terkemuka dalam bangsanya, atau seorang ahli agama yang membaca paham pembaharuan.
Namun apabila kita cenderung ke dalam seni dan keindahan (estetika), cobalah rasakan adanya Allah di dalam alam. Pandanglah Dia di dalam kebesaran laut, bukit dan gunung. Keindahan saat matahari terbit dan terbenam, keindahan bentuk, juga keindahan warna. Angin sepoi yang melambaikan serumpun bambu di pinggir hutan, yang menimbulkan kicut penggeseran di antara suatu batang dengan batang yang lain pun mengandung ajaibnya keindahan. Bahkan hempasan ombak ke tepi pantai diiringkan oleh angin lautan yang nyaman, seakan-akan memandikan jiwa kita sendiri. Jika hari telah malam, kita lihat pula bintang berserak di halaman langit. Bintang-bintang bekelap-kelip, seakan-akan orang tersenyum, dan yang disenyumi adalah kita.
Ternyata jauh-jauh hari Al-Qu’an juga telah menganjurkan menggunakan akal pikiran dan hati nurani untuk merenungi semua keajaiban alam ini. Manusia yang berakal akan menyadari tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Jika sekiranya pendapat hasil pencarian dan renungan pikiran disesuaikan dengan yang ada dalam Al-Qur’an, akan didapatkan penyelesaian, yaitu segala bukti menunjukkan keberadaan Allah SWT.
Melihat itu semua, banyak kesannya kepada jiwa kita sendiri. Seakan-akan kita telah menjadi ahli waris dari alam. Kita pun jatuh cinta kepadanya. Karena dari Dia-lah timbul keindahan yang telah direkam jiwa kita. Tidak ada ucapan lain yang sekaligus dapat mencetuskan apa yang terasa dalam hati kita, selain satu kalimat saja, yakni Allah. Itulah intisari kehidupan seniman.
Semoga terinspirasi & Selamat Membaca J
**
Judul Buku : Falsafah Ketuhanan
Penulis : Prof. Dr. HAMKA
Penerbit : Gema Insani, Jakarta
Cetakan : pertama, Sya’ban 1438 H/ Mei 2017 M
Tebal : viii + 140 hlm; 18,3 cm
ISBN : 978-602-250-389-7
Genre : Aqidah
Harga : Rp. -
Resensator : Irwan Haryono S., S.Fil.I
**
0 comments :
Post a Comment
Terima kasih telah mengunjungi dan berkomentar bijak di situs ini.