**
“Niat karena Allah, nasi sabungkuih, dan tinju gadang ciek.”
[Prof. Dr. Hamka]
**
Bermula dari kata-kata di atas merupakan semboyan dari pada pegangan hidup seorang Buya Hamka. Berikut akan kami tuliskan penjelasannya lebih terperinci:
Banyak orang bertanya, apa yang membuat Ayah (sebutan Bagi Buya Hamka) begitu gigih dalam menjalankan kehidupan dan perjuangan? Banyak orang yang bertanya apa dasar pegangan hidup Buya Hamka tanya Irfan Hamka langsung pada ayahnya.
Jawab Hamka:
“Ada dasar perjuangan Ayah. Pertama, Ayah sangat menghayati sebuah pantun yang digubah oleh Datuk Panduko Alam dalam buku Rancak di Labuh. Bunyinya:
Putuslah tali layang
Robek kertasnya dekat bingkai
Hidup nan jangan mengapalang
Tidak punya berani pakai
Pantun itu selalu membakar darah Ayah dalam perjuangan.”
Kedua, Ayah tidak tamat sekolah, baik sekolah umum maupun sekolah agama. Ayah merasa malu tidak punya diploma. Ayah harus mengejar ketinggalan itu dengan belajar sendiri, Ayah harus berani menghadapinya.”
“Pandangan hidup Ayah yang lain dalam menghadapi perjuangan hidup ini, adalah niat karena Allah, nasi sabungkuih, dan tinju gadang ciek. Artinya, niat karena Allah harus diyakini, tidak terombang-ambing dengan niat yang lain. Kegiatan apa pun yang kita lakukan, jangan lupa kesiapan logistik. Sekecil apa pun, walau hanya sebungkus nasi. Dan yang terakhir, jangan pernah merasa takut, gentar, mudah menyerah. Harus tegas dan tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan dan berpikir jernih. Itu diibaratkan dengan sebuah tinju yang besar.” Ayah mengakhiri jawabannya sekaligus menanamkan dasar sikap hidupanya pada Irfan Hamka.
Sambut Irfan Hamka dalam lanjutan tulisannya, Bila kita melihat kondisi negeri kita saat ini, rasanya apa yang Ayah katakan kepadaku beberapa puluh tahun yang lalu masih sangat relevan untuk dijadikan pedoman; semua orang harus meluruskan niat, menjalankan kehidupan semata karena Allah. Tidak terkecuali bagi para pejabat publik, agar tidak menyimpang ketika kekuasaan telah diamanahkan oleh Rakyat.
Semua tentang Ayah:
Satu sifat Ayah yang sangat Aku kagumi, Ayah tidak pernah berpikiran negative kepada orang lain. Siapa pun mereka, Ayah selalu berprasangka baik dan memiliki keyakinan bahwa orang pasti dapat berubah menjadi baik. (baca lebih lanjut hlm. 7)
Siapakah penulis buku ini, ia adalah seorang Irfan Hamka. Anak kelima dari dua belas berasaudara. Usianya saat ini sudah tidak lagi muda. Lahir di Medan, 24 Desember 1943 tak terasa saat beliau menulis pengantar buku ini di tahun 2013 beliau sudah memasuki usia 70 tahun. Ya waktu yang senja buat seorang anak manusia. Waktu terus bergulir mengantarkan takdir kehidupannya untuk melahirkan buku terbaik ini.
Buku ini memiliki 10 bagian penting. Akan penulis sebutkan urutannya dan judul yang tekandung di dalamnya.
Bagian Satu; Sejenak Mengenang Nasihat Ayah
Bagian Dua; Ayah dan Masa Kecil Kami
Bagian Tiga; Ayah Berdamai Dengan Jin
Bagian Empat; Ayah, Ummi, dan Aku Naik Haji
Bagian Lima; Perjalanan Maut Ayah, Ummi dan Aku
Bagian Enam; Ayah Seorang Sufi, di Mataku
Bagian Tujuh; Ayah dan Ummi, Teman Hidupnya
Bagian Delapan; Si Kuning, Kucing Kesayangan Ayah
Bagian Sembilan; Ayah, Hasil Karya, dan Beberapa Kisah
Bagian Sepuluh; Ayah Meninggal Dunia
Dari kesepuluh judul tertera dalam daftar isi ini, masih ada beberapa lagi daftar isi yang berupa silsilah dua keluarga besar, foto kenangan, biodata dan sumber yang lainnya, semoga pembaca semangat untuk meneruskan bacaannya tidak pada tulisan pendek ini saja, akan tetapi berlanjut pada buku isinya jauh lebih lengkap.
Dari tulisan singkat ini, Irfan menceritakan satu lagi cerita yang dibaginya buat kita para pembaca, adalah tentang seekor kucing yang bernama si Kuning. Si Kuning merupakan seekor kucing kesayangan Ayah. Ternyata kasih sayang Ayah bukan hanya kepada sesama makhluk manusia. Terhadap tumbuhan dan binatangpun demikian, Ayah membagi kasih sayangnya sebagai bagian dari akhlak seorang muslim yang membawa misi Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin.
Akhirnya sampailah pada bagian terakhir buku ini, sebuah buku menceritakan sisi lain dari sosok Buya Hamka, tepat dari sisi keayahan atau dari sisi orang tua, sangat cocok bagi kita yang telah menjadi orang tua, atau bahkan bagi calon ayah bagi anak-anaknya, Buya Hamka telah mencontohkan bagaimana kiprah seorang ayah semestinya, sebab ayah adalah tumpuan tertinggi dalam pilar keluarga. Anak berpangku padanya, istri berpangku padanya, dan segala masalah berpangku pada kebijaksanaannya untuk mengambil keputusan.
Sebagai seorang pembaca yang tidak pernah puas dalam menikmati semua karya Buya Hamka, atau berkenaan dengan beliau, sangat disayangkan jika buku ini hanya tertulis dalam lembaran kertas, ada baiknya tulisan ini didokumentasikan dalam bentuk audio, dengan rekamanan asli dari anak beliau langsung, sebagai bentuk keotoritasan akan informasi yang diberikan, kelak dapat menjadi perdengaran bagi mereka yang sedang berkendaraan atau bagi mereka yang sedang bekerja atau yang lagi istirahat santai sehabis kerja seharian.
Jauh selain dari pada itu, buku ini adalah buku yang sangat luar biasa, membelinya adalah satu keberuntungan bagi saya pribadi, membaca setiap bait menjadi bonus yang sangat luar biasa, kepada calon pembaca selanjutnya, selamat belajar dalam tuntunan menjadi sosok ayah yang baik yang seharusnya.
“Segala amal perbuatan jika didasari oleh rasa ikhlas dan tulus, maka keajaiban dan hal luar biasalah yang akan terjadi.”
Akhir kata semoga terinspirasi dan selamat membaca J
**
Judul Buku : Ayah
Penulis : Irfan Hamka
Penerbit : Republika Penerbit, Jakarta
Cetakan : Pertama, Mei 2013
Tebal : xxxviii + 321 hlm; 13,5 x 20,5 cm
ISBN : 978-602-8997-71-3
Genre : Biografi
Harga : Rp.
Resensator : Irwan Haryono S., S.Fil.I
**
0 comments :
Post a Comment
Terima kasih telah mengunjungi dan berkomentar bijak di situs ini.