Bedah Buku:
“Rasional Tanpa Menjadi Liberal;
(Worldview Islam Untuk Framework Pemikiran dan Peradaban)
Vol. 2
Sabtu, 22/02/2025. Bedah buku “Rasional Tanpa Menjadi Liberal; ” dengan Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi sangat menyenangkan. Secara singkat padat, langsung pada inti persoalan, dan solusi, terasa begitu dinamis, dan solutif.Sosok ulama muda yang kini berkiprah dalam dunia pemikiran tersebut perlahan menyadarkan peserta yang hadir, akan pentingnya paham akan ‘basic believe’ yang benar dan kokoh.
Terdapat banyak poin penting, yang saya garis bawahi, selama mengikuti zoom meeting ini, saya ulas kembali dan tuliskan kembali di catatan ini dengan format tulisan Q & A (tanya jawab), agar bisa mendapatkan deskripsi yang lugas dan tuntas. Ada sekitar 9 pertanyaan yang diulas dalam catatan singkat ini, di antaranya:
1. Apakah filsafat ilmu bisa digunakan dalam ilmu sosial?
Filsafat ilmu bisa dipakai dalam ilmu sosial, tapi basisnya adalah teologi, di mana dalam hal ini harus berdasarkan ilmu, dan Ilmu dalam Islam sumbernya dari alquran.
2. Jelaskan sedikit tentang konsep teologi Islam?
Teologi Islam itu komprehensif dan ada basis epistemologinya. Sebagai contoh Ilmu kalam, ini adalah ulasan karya yang berbicara tentang teologi secara komprehensif dan epistemologis.
Teologi Islam disebut juga dengan aqidah. Aqidah bukan sekedar teologi moralitas, aqidah tidak sekedar mengajarkan moral, tapi juga mengajarkan sesuatu dengan ilmu, “fa’lam annahu la Ilahaillah”, pada kata i’lam, itu adalah kata pengetahuan, di samping berkeyakinan, umat muslim diminta juga berpikir, menganalisis dan mengkaitkan aqidahnya dengan relevansi alam semesta.
Dengan begitu jelaslah bahwa, teologi kita sumbernya ilmu. Pahami Islam, Pelajari Islam, lihat ayat-ayat qouniyah, lalu perhatikan sekitar, sampai pada akhirnya kamu paham, meyakini dengan sepenuh hati. Semakin belajar, maka akan semakin kuat keimananmu memperkokoh aqidahmu.
3. Bagaimana proses pembentukan adab?
Umat Islam mesti menggembalikan segala sesuatunya pada titik awal keberangkatan. Di mana mesti berangkat dari sumber wahyu umat Islam, yang menjadi pedoman dasar yaitu alquran. Sebab alquran adalah sumber adab; darinya lahirlah ilmu pengetahuan yang beragam macam, kemudian Ilmu yang terlahir darinya disebut dengan adab; orang yang memiliki ilmu tersebut, disebut orang beradab; semakin membesar, membentuk komunitas-komunitas, maka akan menjadi peradaban, beginilah kira-kira peradaban itu terbentuk.
Dari proses lini terkecil dalam organisasi yang disebut keluarga. Jadi peradaban sangat besar sekali; terbentuk dari pola keyakinan keluarga yang baik, dengan pola pendidikan yang baik, pola komunikasi yang baik, pola pemahaman yang baik, pola tindakan yang baik, sehingga pada akhirnya bisa menjaga keluarganya dengan baik, syukur-syukur dapat memberikan efek perubahan luar biasa di masyarakatnya juga.
Berikut kira-kira ilustrasi sederhana, proses peradaban itu dimulai:
4. Jika ingin menjadi muslim yang baik, dari mana pertama sekali proses ini dibangun?
Dalam Islam yang dipentingkan individu dulu, lalu kemudian institusi keluarga, “ku anfusakum wa ahlikum naro”, (prioritaskan/selamatkan dirimu, lalu keluargamu, dari api neraka), kalau boleh diteruskan maka “…wa mujtamaikum” (dan prioritaskan/selamatkan masyarakatmu dari api neraka).
5. Di titik mana antara Barat dan Timur bisa bertemu dan bersatu?
Barat dan Timur bisa bertemu pada titik Ilmu pengetahuan. Kalau bicara tentang ilmu pengetahuan, bisa bertemu dan Bersatu. Berbicara sains, teknologi, pengetahuan, konsep alam, konsep manusia, dan konsep yang lainnya, bisa mempersatukan Barat dan Timur. Namun selain itu, tidak akan pernah ketemu, tidak di politik, tidak juga dengan ekonomi.
6. Bagaimana konsep islamisasi dalam Islam?
Islamisasi bukan konversi, tapi proses aprovisasi. Ketika ilmu diambil positifnya, maka proses aprovisasi disesuaikan dengan Islam, tidak bisa diambil begitu saja. Salah satu contohnya, sistem perbankan konvensional diaprovisasi sehingga menjadi perbankan syariah, ekonomi konvensional menjadi ekonomi syariah. Memang pada saat ini Islam belum meluncurkan sistemnya secara mandiri, tapi percayalah, suatu ketika Islam akan menjadi mandiri. Sehingga bisa membangun sistem yang benar-benar baik dan sesuai dengan Islam, dan menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia.
7. Bagaimana batasan toleran dalam Islam?
Toleran terhadap berbagai hal, itu tidak boleh menerobos syariat atau aqidah. Itulah yang harusnya tidak boleh disalahpahami bagi muslim. Dan itu merupakan batasan yang paling selamat.
8. Bagaimana konsep benar dalam tingkatan Transenden?
Menyikapi paham pluralisme, konsep “BENAR” dalam tingkat transenden, tidak bisa disamakan. Antara Tuhan agama Islam dengan tuhan agama yang lain itu tidak sama, cara peribadahannya tidak sama, keyakinannya juga berbeda,
Jika plural diartikan masyarakat majemuk, banyak, komprehensif terdiri dari banyak unsur, itu benar. Namun tidak dalam hal keyakinan yang itu sifatnya subjektif. Sebab konsep kebenaran yang sebenarnya dalam Islam mesti berlandaskan ilmu, keyakinan dan perbuatan yang berlandaskan keislaman.
Syariat dan Aqidah Islam tidak boleh berbeda-beda. Keduanya bukan hal terpisahkan, tapi satu kesatuan yang kokoh dalam Islam. Maka jika ada pendikotomian dari hal ini, itulah yang berbahaya bagi aqidah muslim.
9. Sebenarnya apa tujuan INSISTS mengadakan diskusi ini?
Misi INSISTS ini, ingin mengembalikan Islam kepada tradisi Islam yang berlandaskan alquran dan sunnah. Dengan tidak menutup pintu diskusi secara keilmuan. Insya Allah kita akan selalu siap mengimbangi dan mengikuti diskusi terbuka dalam hal ini.
Sejatinya tanya jawab yang berlangsung ketika zoom meeting ini dibuka teramat sangat banyak dan padat, nyaris tidak behenti, baik penanya langsung maupun melalui chat, maka dengan segala keterbatasan saya sebagai salah seorang peserta, inilah beberapa pertanyaan dan jawaban yang bisa say aulas kembali, dan tuliskan dalam catatan singkat ini, semoga bermanfaat adanya. Aamiin.
Selain penyajian tulisan ini dengan cara Q & A (tanya jawab), saya ingin coba mengulas tentang betapa menariknya judul ini, mengangkat judul singkat, padat dan bernash.
Rasional Tanpa Menjadi Liberal;
(Worldview Islam Untuk Framework Pemikiran dan Peradaban)
Vol. 2
Judulnya sungguh sangat memikat sedari awal membacanya, jadi penasaran ingin menjabarkan lebih lues dari maksud yang tersirat, dengan segala keberanian tapi dengan data, kami coba membuka “Kamus Filsafat” karya Lorens Bagus, belajar menganalisis sebuah kata dari penjelasan yang lebih terperinci, berikut kami sampaikan datanya:
Rasional:[1]
Inggris: rational. Latin: rationalis (masuk akal) dari ratio (akalbudi).
Beberapa pengertian dari kata “RASIONAL” itu sendiri adalah:
1. Secara umum, rasional menunjukkan modus atau cara pengetahuan diskursif, konseptual yang khas manusiawi. Jadi rasional tidak sama dengan ‘intelektual’.
2. Dalam arti khusus, rasional berarti: konklusif, logis, metodik.
3. Dalam arti ilmu pengetahuan, rasional merupakan ilmu yang bersifat deduktif atau reduktif (yakni berasal dari prinsip-prinsip atau dengan mereduksi yang ada kepada prinsip-prinsip).
4. Rasional juga berarti mengandung atau mempunyai rasio atau dicirikan oleh rasio; dapat dipahami; cocok dengan rasio; dapat dimengerti, ditangkap, masuk akal; melekat pada (berhubungan dengan) sifat-sifat pemikiran seperti konsistensi, koherensi, kesederhanaan, keabstrakan, kelengkapan, teratur, struktur logis.
Liberal:[2]
Liberal itu artinya bebas, kata-kata liberal diambil dari bahasa Latin liber artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan di mana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain. Makna bebas kemudian menjadi sebuah sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu kebebasan berfikir (The old Liberalism). Dari makna kebebasan berfikir inilah kata liberal berkembang sehingga mempunyai berbagai makna.
Rasional Tanpa Menjadi Liberal seakan menganjurkan pada setiap pembaca, untuk benar-benar mengaktifkan akalnya, harus rasional, kritis, paham diskursif, mengerti konsep, paham alasan, memahami proses sebab dan akibat, dan sekian tanda-tanda kebesaran Allah dari alam ini, sebagai bentuk aktif dalam menyikapi kehidupan tanpa menjadi liberal, tanpa kebablasan, tanpa terjun bebas tanpa ada pegangan keilmuan dan keimanan.
Dari judul ini juga, seakan menasehati setiap muslim untuk selalu berpikir sehat, sebelum bertindak, sehingga setiap tindakannya adalah kebaikan. Setiap apapun yang dihasilkannya adalah keberkahan, rahmat dan maghfirah dari Allah swt.
Setelah ulasan dari judul buku volume ke 2. Mari kita sejenak balik mengulik ulasan dari judul buku volume pertama. Secara lebih spesifik, kami mencari maknanya dari “Kamus Filsafat” karya Lorens Bagus:
Rasional Tanpa Menjadi Liberal; Refleksi Keimanan Sampai Pada Titik Dasar
Kata Rasional dan liberal, nampaknya sudah sangat jelas, dengan penjelasan, ditambah dengan arti tertulis yang membantu menjelaskannya. Adapun kalimat baru yang perlu didudukkan artinya, terdapat pada kata “refleksi” dan “iman”. Berikut makna refleksi dan iman yang kami dapat uraikan:Refleksi:[3]
Inggris: reflection. Dari Latin: reflectere (melengkung ke belakang).
Beberapa pengertian dari kata “REFLEKSI” itu sendiri adalah:
1. Refleksi dalam arti paling umum berarti meditasi yang dalam, yang bersifat memeriksa. Meditasi ini berbeda dengan persepsi yang sederhana atau dengan putusan-putusan langsung, involunter mengenai suatu objek.
2. Refleksi sebagai pembalikan. Pembalikan ini (reflexio = menekuk ke belakang) merupakan arti refleksi yang sebenarnya. Karena itu, rekfleksi secara khusus berarti berpalingnya perhatian seseorang dari objek-objek eksternal, yang mendapat perhatian utama dalam soal-soal biasa, kepada kegiatan rohani, dan kepada cara berada di mana objek-objek ini berada sebagai sebuah objek kegiatan.
Iman:[4]
Inggris: Faith; dari bahasa Latin: fides (iman, kepercayaan, kesetiaan).
Beberapa pengertian dari kata “IMAN” itu sendiri adalah:
1. Penerimaan terhadap suatu sistem kepercayaan yang diyakini benar. Sikap percaya yang melampaui atau melebihi bukti yang ada.
2. Kepercayaan akan syahadat dari suatu agama
3. Keyakinan dan kepercayaan yang kuat akan Allah (biasanya Allah dipercaya telah mewahyukan diriNya sendiri dan dapat dikenal).
4. Keyakinan akan sesuatu walaupun berlawanan dengan evidensi (fakta-fakta).
5. Keyakinan akan sesuatu biarpun tidak terdapat evidensi baginya.
6. Keyakinan terhadap sesuatu disebabkan evidensi masa lalu baginya. Keyakinan yang didasarkan atas kepercayaan.
7. Kepercayaan akan kebenaran sesuatu yang tidak dapat didukung secara rasional dan empiris tetapi yang diandaikan oleh suatu bentuk pengetahuan empiris.
Refleksi Keimanan Sampai Pada Titik Dasar seperti menyadarkan diri kembali bahwa hakikat keimanan seseorang selalu harus dipertanyakan, selalu diperbaharui, selalu terus diupgrade tak henti-henti agar bisa menjadi dasar tumpuan, menjadi penggerak dan cerminan sifat dan sikap muslim sesungguhnya. Harapannya dari proses perenungan panjang, refleksi mendalam, dan meditasi yang khusus dapat melahirkan sosok manusia yang tangguh, seorang mukmin yang kokoh pendirian, kuat keimanannya, berasas dalam setiap tindakannya, menjadikannya tegak berdiri di atas keimanan yang diridhoi ilahi.
Dari uraian singkat di atas, kiranya teman-teman pembaca bisa menilai sendiri akan kualitas buku ini, tidak rugi rasanya jika ini menjadi perbendaharaan nutrisi akal, pikiran dan hati.
Untuk selanjutnya mari sama-sama ngaji, mari sama-sama menimba ilmu, mari sama-sama berproses menuju insan kamil menurut Allah swt. Wallahualam Bishoab.
[1] Lorens Bagus, ‘Kamus Filsafat’ (Jakarta: PT. Gramedia, November 1996), h. 928.
[2] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis), Pertama, Seri Kajian Oksidental (Ponorogo, Jawa Timur: Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2008), h. 24.
[3] Bagus, ‘Kamus Filsafat’, h. 944.
[4] Bagus, h. 321.
0 comments :
Post a Comment
Terima kasih telah mengunjungi dan berkomentar bijak di situs ini.